Sejarah Masjid Agung Purworejo
Bedhug terbesar di Indonesia
Di sebelah barat alun-alun besar Kabupaten Purworejo, suatu ketika berdirilah masjid besar dan agung yang merupakan kebanggaan seluruh umat Islam Purworejo hingga kini. Masjid yang diberi nama Masjid Agung Kabupaten Purworejo ini menempati tanah wakaf seluas kurang lebih 70 x 80 m2 dengan ukuran 21 x 22 m2 ditambah gandok berukuran ± 10 x 21 m2. Menurut sejarah, setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825 – 1830), Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengangkat pemimpin dari kalangan pribumi untuk memerintah wilayah Tanah Bagelen (Purworejo sekarang). Sebagai Bupati kemudian diangkat Kangjeng Raden Tumenggung Cokronegoro I dan jabatan pepatih (pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo. Pada masa pemerintahan Bupati Cokronegoro I ini mulai dibangun beberapa gedung (gedhung) terutama untuk memperlancar kegiatan-kegiatan pemerintahan. Di sebelah utara alum-alun didirikan Gedung Kabupaten beserta Pendhapa Agengnya untuk tempat bersidang. Gedhung yang terdiri dari dua buah bangunan ini disebut paseban, yaitu tempat para abdi Kabupaten, Lurah dan rakyat menungg panggilan menghadap ke Kabupaten. Beberapa saat kemudian atas perintah Bupati Cokro I dibangun pula Masjid Agung Kabupaten Purworejo untuk tempat ibadah. Masjid ini berdasarkan tulisan dalam Prasasti yang ditempelkan di atas pintu utamanya, selesai di bangun pada tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi. Ada beberapa alasan mengapa letak bangunan masjid harus berada di kota Purworejo. Salah satu alasannya bahwa Kota Purworejo terletak di daerah yang dikelilingi oleh perbukitan, yiatu bukit Menoreh di sebelah timur, bukit Geger Menjangan di sebelah utara, dan Gunung Pupur di sebelah Barat. Alasan lainnya bahwa Kota Purworejo berada diantara dua aliran sungai, yaitu Kali Bogowonto dan Kali Jali dengan latar belakang Gunung Sumbing. Dalam ilmu kalang (Kawruh Kalang) yaitu ilmu kejawen yang mempelajari pengetahuan masalah perencanaan dan pembuatan bangunan jawa, letak tanah pada keadaan demikian disebut "Tanah Sungsang Buwana" atau "Kawula Katubing Kala". Orang-orang Tanah Bagelen ketika itu percaya bahwa apabila sebuah bangunan didirikan pada letak Tanah Sungsang Buwana, maka orang-orang yang mendiami atau menggunakannya akan disegani dan dicintai oleh banyak orang atau menjadi kepercayaan para pembesar. Setelah masjid dibangun lalu muncul ide baru dari Bupati Cokronegoro I untuk melengkapinya dengan sebuah Bedug yang harus dibuat istimewa sehingga menjadi tanda peringatan di kemudian hari. Keberadaan Bedug menurut Bupati Cokronegoro Ia sangat diperlukan adik sang Bupati yaitu Mas Tumenggung Prawironegoro Wedana Bragolan, disarankan agar bahan Bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon Jati. Bahan baku dari pohon jati tadi sesungguhnya berasal dari Dukuh Pendowo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Dari cerita lisan yang turun temurun, pohon-pohon jati yang terdapat di Dukuh Pendowo telah berusia ratusan tahun dengan ukuran besar-besar bahkan ada yang bercabang lima. Dalam ilmu kejawen, pohon-pohon jati besar bercabang lima yang disebut Pendowo mengandung sifat perkasa dan berwibawa. Pembuatan Bedug yang dikenal sebagai Bedug Kyai Bagelen (Bedug Pendhawa) ini diperkirakan dilakukan pada tahun jawa 1762 atau tahun 1834 masehi bersamaan dengan selesainya pendirian bangunan Masjid Agung. Cara pembuatan bedug ini dimulai dengan menghaluskan permukaan bongkot kayu jati, kemudian bagian tengahnya dilubangi hingga tembus dari ujung ke ujung (growong) dan dihaluskan kembali. Sebagai penutup bedug, mula-mula digunakan bahan dari kulit banteng. Akan tetapi, setelah 102 tahun kemudian (3 mei 1936) kulit bedug bagian belakang mengalami kerusakan sehingga diganti dengan kulit sapi ongale (benggala) dan sapi pemacek yang berasal dari Desa Winong, Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo. Sedangkan di dalam Bedug Kyai Bagelen di pasang sebuah gong besar yang berfungsi untuk menambah getaran dan bunyi (anggreng). Ada persoalan baru ketika bedug selesai dibuat, yaitu persoalan pemindahan dari Dukuh Pendowo (Jenar) ke Kota Purworejo, seperti diketahui, jarak Pendowo - Purworejo cukup jauh yaitu sekitar 9 kilometer dengan kondisi jalan yang sangat sukar dilalui. Untuk mengatasi persoalan ini tentunya dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kelebihan, kebijaksanaan dan keberanian di dalam menjalankan tugas. Bupati Cokronegoro I atas usul adiknya Raden Tumenggung Prawironegoro mengangkat Kyai Haji Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa Solotiyang, Kecamatan Loano untuk mengepalai proyek pemindahan Bedug Kyai Bagelan. Atas kepemimpinan Bedug sang Kyai, saat itu oleh para pekerja diangkat secara beramai-ramai diiringi bunyi gamelan lengkap dengan penari tayub yang telah menanti di setiap pos perhentian. Akhirnya setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Bedug Kyai Bagelen tiba di Masjid Agung Kabupaten Purworejo. Kini, Bedug kyai Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi Masjid. Barang siapa ingin mendengar suaranya, datanglah pada saat Ashar, Maghrib, Isya, Subuh dan menjelang shalat Jum'at. Di samping itu, pada setiap saat menjelang sholat Sunat Idul Fitri dan Idul Adha, acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam dan memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai bagelen selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.
Data-data teknis Bedug kyai Bagelen:- Panjang rata-rata = 292 centimeter- Garis tengah bagian depan = 194 centimeter- Garis tengah bagian belakang = 180 centimeter- Keliling bagian depan = 601 centimeter- Keliling bagian belakang = 564 centimeter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar